Sabtu, 14 November 2009

Muhasabah Cinta : Langit Subuh Rajawali (Part 2)

”Akh. Sudahlah.....Tidak penting.....Yang penting itu, sekarang kamu harus belajar giat.....Ibu tahu, dan Ibu sangat bangga dengan cita-citamu yang tinggi.....Yang harus kamu lakukan sekarang adalah tekun belajar.. agar bisa jadi orang yang jauh lebih baik dari ibu.....Jadi orang yang berguna.....Setiap nafas dan keringatmu nanti bermanfaat. Usahamu ditunggu bagi orang banyak....Langkahmu diikuti oleh orang-orang yang benar.....Bijakmu menjadi panutan masyarakat.....Tidak seperti Ibu, yang tidak berguna” jawabnya datar dengan nada yang bergetar. Raut wajahnya kini dapat kutangkap. Ada kesedihan di rona matanya. Kata-katanya keluar dengan raut murung yang dapat terbaca dengan jelas.

Aku tertegun mendengar rangkaian kata yang keluar dari bibirnya. Begitu menggetirkan hatiku. Menumbuhkan api semangatku untuk menempuh onak yang terjal demi meraih cita-citaku. Demi ibuku. Tapi di sisi lain, kesan janggal yang tadi kurasakan membuat rasa penasaranku tiba-tiba menyeruak. Tapi, kuabaikan sejenak.

”Ibu, Ibu tahu betapa tingginya kedudukan Ibu di hatiku? Ibu adalah permata hatiku. Jiwa yang selembut-lembutnya akan kujaga hati dan perasaannya, zat yang akan kubahagiakan hidupnya dengan nafas dan keringatku. Aku janji Ibu” jawabku.

Serta merta ia duduk memelukku. Pelukan yang sangat erat. Air matanya menetes di bahuku. Peluhnya keluar dari dahi dan lehernya. Aku membalas pelukan ibuku kali ini dengan selebut-lembut hati dan perasaanku. Aku tak kuasa menahan isak tangis seiring dengan tetesan air mata ibuku. Perasaan haru itu tiba-tiba saja menghantuiku. Aku ikut menangis bersamanya. Walau aku tak tahu, untuk apa sebenarnya aku menangis. Ia kemudian mengambil sapu tangan yang dari tadi melekat di jemari kanannya dan menutupi jemari tangannya dengan sapu tangannya itu. Ia membelaikan tangannya yang lembut ke wajahku, dari ubun-ubun hingga daguku yang kecil. Aku kemudian mencoba menanyakan makna air matanya ini.

”Kenapa Ibu menangis?” tanyaku heran.

”Itu karena, Ibu bangga memiliki anak sepertimu” jawabnya pelan. ” Selain itu...”

Kata-katanya terpotong sejenak.

”Selain itu apa Bu?”

”Selain itu, hari ini Ibu harus pergi Hassfi.”

”Kemana?” sesaat kulihat ia menghela nafas dalam-dalam.

”kakekmu sekarang sedang sakit. Ibu ingin sekali bertemu dengannya. Kemarin ada surat yang datang ke rumah bersama hasil pemeriksaan dari rumah sakit yang hasilnya menunjukkan kakekmu sakit parah. Lebih tepatnya, ada tumor di otaknya, juga diabetes yang sudah kakek derita sejak muda. Ibu ingin bertemu dengannya hari ini, walau untuk yang terakhir.”

”Tapi Ibu, selama ini ibu tidak pernah bercerita tentang kakek? aku pikir aku sudah tak memiliki kakek sejak kecil”

”Tentu saja tidak. Karena...”

Kata-katanya terpotong untuk yang kedua kalinya

”Karena apa Ibu?”

”Sudahlah.... Jangan kamu pikirkan. Teruskan saja belajarmu sana.”

”Sudah siap kok Bu. Sekarang aku mau tidur sebentar, sampai azan subuh.”

”Hmm.... oh ya Hassfi, Ibu akan pergi hari ini juga loh. Jangan kamu khawatirkan uang yang akan Ibu bawa, karena uang yang Ibu bawa rasanya cukup jika hanya untuk ongkos ke sana. Ibu akan berangkat jam delapan pagi ini juga. Ibu sudah siapkan uang yang cukup untuk kebutuhanmu selama dua minggu. Untuk sementara, Ummu Sartini yang menjaga stan gorengan kita di SMP 8 sana. Kalau kamu kekurangan uang, kamu minta saja padanya. Untuk beberapa minggu ke depan, ibu sudah memberikannya modal yang cukup untuk masa itu. Jadi setidaknya, kamu punya hak disetiap penghasilan penjualan gorengannya” jelas ibuku dengan setitik senyumnya yang kini datang lagi.

”Memangnya di mana rumah kakek?”

”Oh ya, ibu belum cerita. Rumahnya di Manado. Ibu akan berangkat pagi ini juga ke melalui Bandara Hang Nadim. Selama ibu pergi, kamu jaga rumahmu ini baik-baik yah.”
”Hm...” aku tersenyum.

Ibuku kemudian menciumi keningku dengan bibirnya yang lembut, dan kedua tangannya memegangi wajahku. Aku dapat melihat pendaran cahaya pantulan dari cahaya lampu, yang terpancar dari cincin emas putih yang melekat di jari manis tangan kirinya sesaat sebelum kedua tangannya memegangi wajahku. Sebuah cincin yang katanya merupakan hadiah perkawinan dengan ayah. Namun ibu bahkan sama sekali tak pernah cerita tentang ayah. Akupun tak pernah menuntutnya untuk bercerita padaku karena kulihat, ia selalu menghindari pembicaraan tenang ayah.

Ia beranjak pergi menuju kamarnya kembali. Mungkin untuk mempersiapkan barang-barang yang ingin dibawanya. Kulirik jam beker kecil tadi. Pukul 03.30. Jam beker kecil itu kemudian kuraih dan kuletakkan di dekat tempatku berguling saat ini. Ring bellnya kuatur satu jam kedepan. 15 menit sebelum azan subuh yang akan berkumandang tepat pukul 04.45.



(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogroll

Site Info

Office :

Komplek Buana Raya Boulevard Blok C/68 email : indo_paradigma@yahoo.com

nParadigma Publishing Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template