Sabtu, 14 November 2009

Muhasabah Cinta : Langit Subuh Rajawali (Part I)

Mataku sudah sangat berat. Tak dapat kutahan lagi hingga kelopaknya yang tipis sudah tak mampu lagi menerima pasokan cahaya untuk melewati kornea mataku. Suasana begitu sejuk, karena sejak dua jam yang lalu tetes-tetes hujan menyelimuti seisi langit perumahan Rajawali Estates, di atas rumahku, dan rumah-rumah lain yang jumlahnya mungkin puluhan.

Tulang punggungku seperti sudah tak mampu berdiri tegak dengan kuat. Mungkin ia sudah terlalu letih di penghujung malam seperti ini, terduduk di atas kursi di depan sebuah meja belajar berukuran dua kali satu meter bermerek ”olympic” yang kubeli dengan uang hasil bekerja selama dua minggu sebagai waiter di sebuah cafe di Batam Center, pada saat libur pergantian semester satu bulan yang lalu. Kulirik jam beker di atas meja belajarku yang berdesain minimalis sederhana berwarna coklat tua. Jam 03:15 pagi. Sudah tiga jam lebih sejak tengah malam, mataku berhadapan dengan tumpukan buku-buku yang sebagian besar terkesan begitu memuakkan.

Tapi, biarlah begitu. Inilah saat bagiku merajut harapan untuk menggapai cita-citaku. Membahagiakan satu-satunya keluargaku yang saat ini masih terlelap dengan segudang keletihan di bahunya yang lemah. Ibuku. Ibu yang amat kucinta. Raut wajahnya yang selalu kudamba. Senyum wajahnya yang selalu kuharap di saat ku gundah. Hangat belainya di saat ku rapuh. Doanya yang selalu menguatkan di setiap ku melangkah. Permata jernih, yang tidak akan pudar hingga nafas terakhirku. Sosok yang akan kukorbankan jiwa dan ragaku demi kebahagiaannya.

Basuhan sejuk air wudhu’ sisa tahajjudku sudah tidak terasa lagi. Aku ingin istirahat sebentar, sampai azan subuh. Karena kelopak mataku yang memberat sudah tak dapat kubendung lagi. Tapi belum sampai aku melelapkan mataku, telingaku menangkap suara yang datangnya dari kamar ibuku. Suara seseorang yang sedang terbatuk-batuk kecil, namun segera berhenti. Sudah tentu aku mengenal suara batuk itu. Itu ibuku. Mungkin ia sudah bangun. Ia sudah terbiasa bangun sepagi ini untuk mempersiapkan barang dagangannya. Ibuku adalah seorang penjual gorengan di SMP Negeri 8 Batu Besar. Sehari-hari ibuku membuka stan di sana dengan hanya dibantu oleh seorang pembantu yang dibayar oleh ibuku. Suara langkah kaki ibuku, aku rasakan semakin mendekat ke arah kamar tempatku belajar saat ini.

”Hassfi, ...” Ibuku memanggilku dan kini sedang berdiri di bibir pintu kamarku yang terbuat dari papan yang tebal, dilapisi triplek yang permukaannya halus, dan tangan kirinya kulihat memegangi gagang pintu yang berwarna perak itu.

”Eh, iya Ibu?”

”Ibu ganggu yah?”

”Tidak kok Bu.”

”Hm.... Baru selesai belajar, Has?”

“Iya Ibu. Barusan siap. Tapi sekarang mau tidur lagi. Ngantuk ni..”

“Hm.... Ibu senang kamu belajar. Karena, dunia ini terlalu luas untuk dilalui tanpa bekal ilmu seperti apa yang Ibu jalani ini.”

”Terimakasih Ibu. Ibu jangan bilang begitu, Ibu tau? Ibu adalah ibu terbaik se-alam semesta” sanjungku.

“Akh. Kata-katamu berlebihan lagi Hassfi” Ia membantah dengan setitik senyum yang menampakkan gingsul dan lesung pipinya. Tanda lahir di sebelah kiri alis ibuku yang berbentuk ujung taring harimau terlihat jelas bersama senyumnya di bawah sinar lampu kamarku yang redup.

“Tidak kok. Ibu memang ibu terbaik se-alam semesta. Bahkan, se-jagad raya.” jawabku sambil menengadahkan kepala ke arah ibuku yang masih berdiri di depan pintu. Kali ini kata-kataku kuakhiri dengan senyuman yang sedikit memelas.

”Suatu hari kamu akan mengerti.” jawabnya kembali dengan raut wajah datar.

Eh, Sekilas aku menangkap kesan kesedihan yang ditutupi di balik ekspresi ibuku.

”Apa maksud Ibu? Ibu kenapa?” tanyaku mencoba menggali kesan janggal yang baru saja kurasakan.

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogroll

Site Info

Office :

Komplek Buana Raya Boulevard Blok C/68 email : indo_paradigma@yahoo.com

nParadigma Publishing Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template